JPP, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati paparkan strategi Pemerintah, khususnya dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) Indonesia menghadapi Revolusi Industri ke-4.
Hal ini disampaikan Menkeu dalam acara Seminar dan Dialog Nasional dengan tema “Penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia Menghadapi Revolusi Industri ke-4: Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia” di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Senin (14/1/2019).
Hal pertama adalah membuat program pengentasan stunting bersama Kementerian dan Pemerintah Daerah (Pemda). “Apabila kita ingin menyiapkan tenaga kerja kita tidak hanya untuk revolusi industri 4.0 tapi juga ingin mendapatkan tenaga kerja sehat, produktif, cerdas maka investasinya harus mulai usia dini bahkan pada saat ibu sedang hamil atau akan melahirkan itu adalah fokus. Di sinilah Pemerintah telah membuat program untuk melawan stunting bersama-sama antar Kementerian dan juga dengan Pemerintah Daerah,” jelas Menkeu.
Dari sisi sistem pendidikan, Pemerintah memberikan perhatian khusus bagi pendidikan usia dini mengingat pada masa tersebut merupakan usia emas bagi perkembangan otak manusia sebagai prasyarat untuk dapat mengikuti pendidikan-pendidikan selanjutnya.
“Kalau kita bicara tentang sistem pendidikan, maka Indonesia telah membelanjakan anggaran pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi, 20% untuk pendidikan. Nilainya untuk tahun 2019 (sekitar) Rp495 triliun. Persoalan kita adalah bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang memiliki kapasitas,” jelasnya.
Selain itu, Menkeu juga menekankan masalah distribusi dan kualitas pengajar, proses belajar-mengajar melalui teknologi, serta isi dari pendidikan itu sendiri.
“Rasio jumlah guru terhadap murid sekitar di bawah 18 itu sudah comparable dengan negara-negara maju. Namun, distribusi guru dan kualitas guru menjadi tantangan. It’s all about quality. Sertifikasi guru perlu difokuskan. Kalau kita bicara tentang proses belajar-mengajar, teknologi menjadi penting (misalnya melalui konektivitas sampai daerah-daerah terpencil). Dari sisi content, (belajar dari Vietnam), Indonesia perlu membuat kurikulum yang lebih sederhana (berfokus pada membaca, matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) sehingga anak-anak bebannya lebih kurang tapi dia fokus pada apa-apa yang penting bagi mereka untuk bisa menghadapi dunia yang sangat cepat,” jelasnya.
Lebih lanjut, untuk mendukung kesiapan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi revolusi industri 4.0, kebijakan Kemenkeu secara spesifik dilakukan antara lain melalui beberapa kebijakan fiskal. Contohnya antara lain, alokasi dana pada program Program Keluarga Harapan (PKH), beasiswa Bidik Misi untuk memberikan kesempatan bagi anak usia sekolah terutama dari keluarga miskin, riset diberikan deduction (pengurangan pajak) dan perusahaan yang memberikan pelatihan SDM diberikan double deduction (pengurangan pajak ganda).
Selain itu, Kemenkeu juga memberikan insentif perpajakan seperti tax holiday dan tax allowance bagi sektor-sektor industri yang sangat dibutuhkan Indonesia, misalnya industri e-commerce dan digital.
Menambahkan penjelasan Menkeu, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Ketua Umum APINDO menegaskan salah satu permasalahan rendahnya kompetitiveness SDM Indonesia adalah adanya gap latar belakang pendidikan dan bidang tenaga kerja yang ditekuninya baik dari sisi struktural maupun horisontal. Misalnya, banyak SDM Indonesia tidak bekerja sesuai pada bidang pendidikannya.
“Dari data sekitar 600.000 atau 700.000 insinyur aktif yang dari Indonesia ternyata hanya 9.000 yang bekerja sesuai profesinya,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Senada dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas, Ketua Umum APINDO menyatakan bahwa di Indonesia masih banyak terjadi ketidaksesuaian antara pendidikan, kesesuaian pendidikan dengan bidang pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat Indonesia.
Sedangkan dari sudut pandang Pemilik CT Group Chairul Tanjung menekankan di era disrupsi teknologi saat ini diperlukan SDM Indonesia yang memiliki kemampuan inovasi, kreatifitas dan kewirausahaan sebagai syarat untuk memenangkan persaingan ke depan. Menurutnya SDM yang efisien dan produktif hanya mampu untuk bertahan hidup.
“Efisien dan produktif hanya bisa untuk bertahan hidup. Untuk bisa menang dalam persaingan dibutuhkan tambahan inovasi, kreatifitas dan entrepreneurship,” pungkasnya (keu)